Beruntung bagi mereka yang bisa beradaptasi dengan perubahan cara belajar sekarang, tetapi masih saja ada yang terkendala terhadap proses belajar mengajar daring yang meningkat karena pandemi COVID-19 ini.
Terlepas dari itu, pergeseran cara belajar menjadi serba online juga membawa efek lain yaitu, addiction to online courses and it is a real thing.
Masa sekarang ini di mana hampir semua proses belajar mengajar bergeser ke daring, timbul adiksi terhadap kelas daring bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Apa itu adiksi online course?
Saat saya menulis ini, belum banyak yang membahas spesifik tentang adiksi terhadap online course.
Beberapa konten di internet membahas tentang adiksi terhadap online course adalah ketika seseorang membeli atau mendaftar ke online course dan feeling good about themselves.
Merasa mereka telah benar-benar belajar sesuatu yang baru, padahal sebenarnya tidak.
Hal yang sering terjadi adalah mereka tidak atau belum belajar apapun dari online course itu, mereka hanya membeli atau mendaftar, kemudian merasa lebih baik, merasa mereka telah melakukan hal produktif dengan hanya membeli atau mendaftar online course tersebut tanpa benar-benar menyelesaikannya.
Mungkin ini adalah hal yang sama yang terjadi saat menerima notifikasi dan likes di sosial media. Dopamine effects.
Kebiasaan ini tanpa diiringi tanggung jawab untuk benar-benar menyelesaikan online course tersebut adalah salah satu contoh dari adiksi online course.
Contoh lain dalam tingkatan yang lebih serius adalah:
Pada tahun 2015 seseorang menulis di Reddit tentang betapa dia kecanduan (addicted) terhadap online course sampai melalaikan tanggung jawab dan hal-hal lain yang lebih penting.
Tahun 2019, Jenni Hill menyinggung tulisan yang sama dan menulis di Vice UK tentang hal yang serupa.
Contoh lain lagi adalah sebuah pertanyaan di Quora.
Dari itu semua, cukup aman jika diambil kesimpulan bahwa adiksi terhadap kelas online adalah hal yang nyata.
Adiksi itu sendiri adalah hal yang nyata, dan bisa terjadi pada apa saja. Belajar, bekerja, online course, dll. adalah sesuatu yang baik. Namun, kecanduan terhadap hal-hal itu bukan lagi sesuatu yang baik.
Ada banyak sekali literatur tentang defisini adiksi, termasuk yang tertulis di Wikipedia yang telah disadur dari beberapa sumber yaitu,
Addiction is a brain disorder characterized by compulsive engagement in rewarding stimuli despite adverse consequences.
Jelas ini bukan hal yang bagus.
Cara mengatasi adiksi online course
Dalam menghindari adiksi terkait online course, ada beberapa hal yang penting diingat,
- Apakah benar-benar dapat diselesaikan?
- Apa manfaatnya?
Wyatt Christman membuat podcast terkait hal ini, tidak secara spesifik membahas dari konteks kesehatan, tapi dia memberikan tips yang sangat berguna yang bisa diimplementasikan untuk mengatasi kasus seperti yang diceritakan di awal.
Ada 3 hal yang harus dijawab untuk menghindari adiksi tersebut,
-
What is the ultimate outcome of the course?
-
When will you reach the outcome of the course?
-
How much time do you need to commit to the course?
Dalam hal menjawab, apakah membeli atau mendaftar ke suatu online course benar-benar menguntungkan? Apakah benar-benar worth it?
Jawabannya adalah, tergantung jawaban dari poin-poin di atas.
Baca artikel berikut untuk membantu menilai apakah suatu online course itu worth it.
Walaupun di akhir artikel dituliskan "Only you can decide if online classes are for you, based on your unique personal and professional goals and preferred learning style", artikel ini sangat layak dibaca.
Selain dari menjawab poin-poin di atas, ada hal lain yang perlu diperhatikan yaitu,
Information overload, imposter syndrome, dan digital literacy
Di zaman ini, di mana kemungkinan terjadinya information overload sangat tinggi, seseorang harus benar-benar dalam kontrol untuk menjaga diri tetap waras, jauh dari kecemasan, jauh dari pengaruh hoax, dll.
Information overload berdasarkan Joseph Ruff dalam artikelnya yang berjudul Information Overload: Causes, Symptoms and Solution adalah,
The point where information processing has reached its peak, and just prior to declining, is the individual’s capacity for information processing.
atau dalam International Journal of Educational and Pedagogical Sciences, volume 10, nomor 3, tahun 2016, disebutkan,
When a person receives too much information and the information load confuses them.
Intinya adalah banyaknya informasi yang tersedia saat ini dapat mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan (baik itu berpikir, berperilaku, percaya akan sesuatu, dll) dan ini bisa sampai di suatu titik di mana hal ini menjadi membingungkan.
Akibatnya seseorang tidak dapat lagi membedakan mana yang benar-benar "benar" dan mana yang tidak benar.
Ada juga istilah imposter syndrome. Kata "imposter" menjadi sangat populer akhir-akhir ini karena game Among Us.
Istilah Imposter Syndrome sudah ada sejak lama. Pertama kali disebut dalam jurnal Psycotherapy, volume 10, nomor 3, tahun 1993 yang saat itu disebut dengan impostor phenomenon.
Impostor feelings are shown to be associated with such characteristics as introversion, trait anxiety, a need to look smart to others, a propensity to shame, and a conflictual and non-supportive family background. The findings are discussed in terms of self psychological theory, with the impostor phenomenon seen as a result of seeking self-esteem by trying to live up to an idealized image to compensate for feelings of insecurity and self-doubt.
Sederhananya, imposter syndrome adalah kondisi psikologis di mana seseorang meragukan pencapaian yang telah diraihnya, merasa waswas, seolah suatu hari orang lain akan tahu bahwa dia hanya seorang penipu yang memalsukan segala bakat dan pencapaiannya.
Kondisi ini memicu seseorang menjadi tidak percaya diri, dan secara tidak sehat selalu terbebani untuk terus "mengembangkan diri".
Lalu ada yang namanya digital literacy. Digital literacy ini adalah skill dan bisa dilatih.
Sama halnya dengan financial literacy. Dalam Journal of Educational Multimedia and Hypermedia, volume 13, nomor 1, tahun 2004 dijelaskan tentang apa itu digital literacy, yaitu
Digital literacy involves more than the mere ability to use software or operate a digital device; it includes a large variety of complex cognitive, motor, sociological, and emotional skills, which users need in order to function effectively in digital environments.
Focus on things you can control
Ketika terus membandingkan diri sendiri terhadap pencapaian orang lain, ketika merasa terganggu melihat isi sosial media orang lain, ketika merasa apa yang sebenarnya cukup untuk diri sendiri menjadi tidak cukup karena membandingkannya dengan orang lain, kemungkinan yang terjadi adalah hal yang telah disebutkan di atas.
Pada saat-saat tertentu, baik untuk memiliki sifat kompetitif. Namun, jika hal ini sudah menjadi beban, di situlah letak kesalahannya.
Terlalu sibuk membandingkan dengan diri dengan orang lain adalah kebiasan buruk.
Begitu juga ketika merasa terganggu saat melihat profil LinkedIn teman-teman yang perkembangannya sudah sangat jauh, atau ketika melihat story di sosial media orang lain yang kelihatannya produktif setiap hari.
Hal yang penting diingat (in an extreme way) yaitu, sosial media adalah tempat pamer dan konten di sosial media adalah fabricated. Termasuk tulisan yang dilebih-lebihkan ini.
Solusinya adalah, pintarlah menggunakan internet dan bersosialisasi di sosial media. Untuk itu perlu yang namanya digital literacy.
Pernah merasakan kondisi akan banyaknya info hoax tersebar di grup WhatsApp keluarga? Itu adalah salah satu contoh efek dari minimnya digital literacy.
Berdasarkan istilah dan definisi yang dipamerkan di atas, pemahaman akan digital literacy ini sangat membantu dalam bagaimana seseorang bereaksi terhadap informasi di internet.
Fokuslah pada pengembangan diri sendiri, tidak ada alasan untuk merasa tertinggal. Setia dengan kutipan klasik, setiap orang punya jalan dan timeline masing-masing.
Hal ini berlaku untuk saya pribadi, yang karenanya saya menulis judul ini Adiksi Online Course.
Tanpa sadar saya membangun kebiasaan buruk yang telah disebutkan tadi. Information overload yang lalu berefek kepada imposter syndrome dikarenakan kurangnya penerapan digital literacy.
Awalnya saya merasa tidak ada kemajuan sedikitpun dalam dalam beberapa bulan ini, merasa terjebak di kegiatan yang itu-itu saja, diperparah dengan kondisi pandemi.
Sampai ketika saat menghabiskan waktu di LinkedIn, saya melihat profil teman-teman lama dan, seperti yang dituliskan sebelumnya, merasa insecure dengan pencapaian-pencapaian mereka.
Jadi, saya mulai mencari online course gratis sana-sini di internet dan mencoba mengikuti semuanya dengan alasan yang dibuat-buat (persiapan dunia kerja, mempercantik resume, belajar hal lain di luar kampus, dll). Namun, setelah melakukan recap kegiatan ala ala bulan ini, saya sadar satu hal. Saya tidak seburuk itu, saya tetap berkembang meskipun sedikit.
Bulan September ini saja, saya telah menyelesaikan 3 online course dan benar-benar belajar dari situ. Saya sedang menjalankan online course ke 4. Online course keempat ini adalah online course dengan durasi paling panjang yang pernah saya ambil. More about it in the later post.
Saya juga melakukan kegiatan yang positif menurut saya, saya masih mandi dan sikat gigi, masih makan, dan masih bersosialisasi, tidak lupa untuk bersantai, saya juga tidak meninggalkan tanggung jawab. Saya kira ini sudah cukup.
Berpuluh-puluh jam online course bulan ini, that's quite an accomplishment for me.
Saya mungkin masih jauh dari yang namanya adiksi. Tapi pentingnya adalah kita sadar betul tentang yang namanya adiksi ini, segala sesuatu adalah baik jika dosisnya sesuai.
Adiksi adalah ketika sesuatu itu sudah overdosis, dan bukan lagi jadi hal yang baik.
Cara di atas saya kira bisa sangat membantu dalam hal menangani adiksi online course, ditambah exaggerated writing dari saya, semoga tulisan ini bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar