Toxic productivity mulai ramai dibicarakan semenjak lockdown akibat
pandemi COVID-19. Pandemi mengakibatkan aktivitas yang biasanya dapat
dengan mudah dilakukan menjadi terhambat dan harus ada penyesuaian, hal
ini membuat semakin banyak orang berpikir bahwa mereka sebaiknya melakukan
hal-hal positif daripada hanya diam di rumah seharian dan tidak melakukan
apapun.
Orang-orang menjadi mudah bosan, tingkat kecemasan meningkat, dan trend
perampingan perusahaan dan pemutusan hubungan kerja juga bisa jadi
berkontribusi terhadap toxic productivity. Terbukti berdasarkan
data insight
dari
Think with Google, trend pencarian lowongan pekerjaan menjadi meningkat, begitu juga trend
pencarian olahraga dan diet, trend pencarian kegiatan untuk mengatasi
bosan, dan trend pencarian “how to”. Orang-orang mencari ide kegiatan
untuk dilakukan di rumah dalam mengatasi keterbatasan akses serta
aktivitas yang dapat dilakukan akibat pandemi.
Apa itu toxic productivity?
Berdasarkan
psikolog Dr. Julie Smith, toxic productivity adalah obsesi dalam mengembangkan diri dan bekerja
yang diikuti oleh perasaan bersalah dan merasa tidak cukup dalam
menyelesaikan pekerjaan seberapapun banyaknya pekerjaan yang sebenarnya
telah diselesaikan.
Apa tanda-tandanya?
Orang-orang yang mengidap toxic productivity akan tetap merasa tidak puas
dan merasa harus menyelesaikan lebih banyak pekerjaan sampai titik di mana
hal ini dapat mengganggu kesehatan. Beberapa bahkan secara tidak sadar
menetapkan goals dan ekspektasi yang tidak realistis, sehingga memberatkan
diri sendiri ketika goals tersebut tidak dapat dicapai. Tanda lain dari
toxic productivity adalah restlessness, di mana seseorang sulit untuk merasa
rileks bahkan di saat waktunya istirahat dan hal ini dapat memicu gangguan
tidur.
Dalam hal yang parah, seseorang dapat benar-benar dikonsumsi oleh pikiran
negatif yang membuat mereka berpikir untuk harus terus melakukan sebanyak
mungkin aktivitas dan pekerjaan. Alih-alih produktif, hal ini membuat
segala sesuatu menjadi rumit dan malah menjadi tidak fungsional. Tekanan
untuk dapat melakukan sesuatu namun tidak mampu akibat kelelahan, kurang
fokus, dan sebagainya, mengakibatkan seseorang tidak dapat berfungsi dan
bekerja dengan baik sebagaimana mestinya.
Hal ini dapat disebabkan salah satunya oleh budaya bahwa seseorang akan
dianggap sukses dan dipuji berdasarkan achievements dan hal-hal yang telah
mereka capai, serta kebiasaan membanding-bandingkan progress diri sendiri
dengan orang lain yang biasanya merupakan efek samping penggunaan sosial
media yang tidak sehat. Lebih parahnya lagi, pandemi COVID-19 memperburuk
hal ini.
Dari
tulisan Kamran Akhter dan Padmini Vaidyanathan, toxic productivity terletak di kedua ujung spektrum produktifitas, dan
toxic productivity dapat berasal dari tekanan emosial dan workload.
Siapa saja yang rawan mengidap toxic productivity?
Semua orang memiliki kemungkinan terjangkit toxic productivity, dan setiap
orang punya daya tahan, mekanisme coping, dan respon berbeda dalam mengatasi
situasi pandemi. Mereka yang biasa terpapar dengan hustle culture bisa jadi
salah satu yang paling berisiko. Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan
oleh
Annabelle Grigg dalam The Oxford Student.
Tips mengatasi toxic productivity
Tentu saja, toxic productivity dapat diatasi. Jika merasa mengidap toxic
productivty atau timbul tanda-tandanya seperti yang telah dijelaskan di
atas, berikut beberapa hal yang mesti dilakukan dalam mengatasi toxic
productivity,
- Tentukan goal yang realistis
- Merasa cukup, take breaks
- Define clear work-life boundaries
- Mindfulness
- Self-care
- Set up routines
- Olahraga
Hal yang perlu diingat adalah, everyone has their own time pace dan esensi
bekerja adalah menjadi bermanfaat baik terhadap diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan, bukan sekadar mengejar target-target tanpa memperhatikan
waktu istirahat, kesehatan mental, dan kebutuhan psikologis.
Perhatikan work culture di lingkungan kita dan jangan pernah
mengglorifikasi overwork.
Terakhir, relax. Stay positive.
Komentar
Posting Komentar