Belum lama ini, saya berkenalan dengan istilah ini. Setelah mencari tahu lebih lanjut, saya menemukan fakta bahwa ternyata belum banyak yang membahas tentang toxic productivity terutama di Indonesia.
Toxic productivity mulai ramai dibicarakan semenjak lockdown akibat pandemi COVID-19.
Pandemi mengakibatkan aktivitas yang biasanya dapat dengan mudah dilakukan menjadi terhambat dan harus ada penyesuaian, hal ini membuat semakin banyak orang berpikir bahwa mereka sebaiknya melakukan hal-hal positif daripada hanya diam di rumah seharian dan tidak melakukan apa pun.
Orang-orang menjadi mudah bosan, tingkat kecemasan meningkat, dan trend perampingan perusahaan dan pemutusan hubungan kerja juga bisa jadi berkontribusi terhadap toxic productivity.
Terbukti berdasarkan data insight dari Think with Google, trend pencarian lowongan pekerjaan menjadi meningkat, begitu juga trend pencarian olahraga dan diet, trend pencarian kegiatan untuk mengatasi bosan, dan trend pencarian “how to”.
Orang-orang mencari ide kegiatan untuk dilakukan di rumah dalam mengatasi keterbatasan akses serta aktivitas yang dapat dilakukan akibat pandemi.
Apa itu toxic productivity?
Berdasarkan psikolog Dr. Julie Smith, toxic productivity adalah obsesi dalam mengembangkan diri dan bekerja yang diikuti oleh perasaan bersalah dan merasa tidak cukup dalam menyelesaikan pekerjaan seberapa pun banyaknya pekerjaan yang sebenarnya telah diselesaikan.
Apa tanda-tandanya?
Orang-orang yang mengidap toxic productivity akan tetap merasa tidak puas dan merasa harus menyelesaikan lebih banyak pekerjaan sampai titik di mana hal ini dapat mengganggu kesehatan.
Beberapa bahkan secara tidak sadar menetapkan goals dan ekspektasi yang tidak realistis, sehingga memberatkan diri sendiri ketika goals tersebut tidak dapat dicapai.
Tanda lain dari toxic productivity adalah restlessness, di mana seseorang sulit untuk merasa rileks bahkan di saat waktunya istirahat dan hal ini dapat memicu gangguan tidur.
Dalam hal yang parah, seseorang dapat benar-benar dikonsumsi oleh pikiran negatif yang membuat mereka berpikir untuk harus terus melakukan sebanyak mungkin aktivitas dan pekerjaan.
Alih-alih produktif, hal ini membuat segala sesuatu menjadi rumit dan malah menjadi tidak fungsional.
Tekanan untuk dapat melakukan sesuatu namun tidak mampu akibat kelelahan, kurang fokus, dan sebagainya, mengakibatkan seseorang tidak dapat berfungsi dan bekerja dengan baik sebagaimana mestinya.
Hal ini dapat disebabkan salah satunya oleh budaya bahwa seseorang akan dianggap sukses dan dipuji berdasarkan achievements dan hal-hal yang telah mereka capai, serta kebiasaan membanding-bandingkan progress diri sendiri dengan orang lain yang biasanya merupakan efek samping penggunaan sosial media yang tidak sehat.
Lebih parahnya lagi, pandemi COVID-19 memperburuk hal ini.
Dari tulisan Kamran Akhter dan Padmini Vaidyanathan, toxic productivity terletak di kedua ujung spektrum produktifitas, dan toxic productivity dapat berasal dari tekanan emosial dan workload.
Siapa saja yang rawan mengidap toxic productivity?
Semua orang memiliki kemungkinan terjangkit toxic productivity, dan setiap orang punya daya tahan, mekanisme coping, dan respon berbeda dalam mengatasi situasi pandemi.
Mereka yang biasa terpapar dengan hustle culture bisa jadi salah satu yang paling berisiko.
Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Annabelle Grigg dalam The Oxford Student.
Tips mengatasi toxic productivity
Tentu saja, toxic productivity dapat diatasi.
Jika merasa mengidap toxic productivty atau timbul tanda-tandanya seperti yang telah dijelaskan di atas, berikut beberapa hal yang mesti dilakukan dalam mengatasi toxic productivity,
- Tentukan goal yang realistis
- Merasa cukup, take breaks
- Define clear work-life boundaries
- Mindfulness
- Self-care
- Set up routines
- Olahraga
Hal yang perlu diingat adalah, everyone has their own time pace dan esensi bekerja adalah menjadi bermanfaat baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, bukan sekadar mengejar target-target tanpa memperhatikan waktu istirahat, kesehatan mental, dan kebutuhan psikologis.
Perhatikan work culture di lingkungan kita dan jangan pernah mengglorifikasi overwork.
Terakhir, relax. Stay positive.
Komentar
Posting Komentar